BEF (Bovine Ephemeral Fever)/ Deman Tiga Hari
“Sapi Demam dan Tidak Mau Maka” begitulah kira-kira laporan dari peternak kepada manti hewan maupun dokter hewan. Peternak sudah paham gejala sapi demam meskipun mereka tidak mengukurnya dengan thermometer. Peternak cukup melihat dari gejala sapi yang lemas, tidak lincah, mata sayu dan terkadang keluar leleran dari hidung/ hingus. Laporan dari peternak terkait demam pada sapi ini frekuensinya mencapai puncak pada pergantian musim/ pancaroba yang biasanya terjadi pada bulan Maret-April. Adapun penyakit yang paling sering menyebabkan demam pada sapi saa pergantian musim tersebut adalah yang biasa disebut DEMAM TIGA HARI atau Bovine Ephemeral Fever (BEF).
Bovine Ephemeral Fever (BEF) adalah salah satu penyakit virus arbo pada sapi dan kerbau, seperti Bostaurus, Bos indicus dan Bos javanicus. Pada ruminansia lainnya infeksi BEF biasanya tidak menimbulkan gejala klinis. Penyakit BEF sering juga disebut `three days sickness’, stiff sickness, dengue fever of cattle, bovine epizootic fever dan lazy man’s disease. Penyakit ini ditandai dengan demam selama tiga hari, kekakuan dan kelumpuhan, namun demikian dapat sembuh spontan dalam waktu tiga hari. Oleh karena itu, nama BEF atau demam tiga hari lebih sering digunakan (Yeruham et al. 2007; Zheng et al. 2011).
TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi Bovine Ephemeral Fever (BEF)
Bovine Ephemeral Fever disebabkan oleh virus BEF, yang termasuk dalam single stranded RNA, genus Ephemerovirus, family Rhabdoviridae. Virus ini mempunyai besaran antara 80-140 nm, dan berbentuk seperti peluru, mempunyai amplop, sehingga sensitf terhadap diethylether dan sodium deoxycholate (St. George 1988). Pada suhu 48°C, virus BEF tetap aktif dalam darah. Virus ini juga dapat diinaktifkan pada suhu 56°C selama 10 menit atau 37°C selama 18 jam (Della Porta dan Brown 1979). Virus BEF tidak aktif pada pH 2,5 atau pH 12,0 selama 12 menit. Hasil karakterisasi isolat BEF dari beberapa negara menunjukkan bahwa isolat BEF asal Jepang, Taiwan, Cina, Turki, Israel dan Australia, memiliki kesamaan gen yang conserve. Secara filogenetik, BEF memiliki kesamaan berdasarkan daerah/negara, yang terbagi dalam tiga kelompok klaster yaitu kelompok Asia, Australia dan Timur Tengah (Zheng dan Qiu 2012). Tidak ada perbedaan yang jelas antara strain virus yang satu dengan yang lain, meskipun di Australia, isolat virus BEF yang diperoleh dari nyamuk berbeda dengan yang diperoleh dari ternak sapi yang terinfeksi. Isolat yang diperoleh hanya membedakan antara virus BEF virulen dan avirulen (Kato et al. 2009).
Peran Vektor Dalam Penularan Penyakit
Vektor nyamuk telah dibuktikan memainkan peranan penting dalam penyebaran infeksi BEF. Hal ini terlihat dari kejadian epidemiologi, dimana virus BEF telah berhasil diisolasi dari beberapa spesies nyamuk, yang tentunya tergantung dari keberadaan spesies di daerah suatu negara. Sebagai contoh, di Afrika, C.coarctatus dan C. imocola, di Australia C. brevitarsis, Anopheles bancrofti, C. nipponensis dan C. oxystama (Murray 1997; Hsieh et al. 2005).
Di Indonesia, penelitian mengenai vektor penyakit BEF belum pernah dilaporkan, namun hasil studi longitudinal yang dilakukan oleh Sukarsih et al. (1993), menunjukkan bahwa C. brevitarsis, C. oxystoma, A. bancroti telah banyak ditemukan (Sukarsih et al. 1993). Sementara di Israel, vektor BEF dan virus arbo yang potensial dilaporkan oleh Braverman (2001), seperti Cx. Pipiens, Ochlerotatus, Caspius Oc. Caspius, C.imicola, C. schultzei group dan C. punctatus.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi populasi nyamuk vektor diantaranya perubahan iklim, lingkungan dan ekologi seperti kelembaban, suhu dan kecepatan angin. Telah dilaporkan sebelumnya bahwa BEF lebih banyak terjadi pada daerah beriklim panas dengan kelembaban tinggi (Yeruham et al. 2002; 2010; Thomson dan Connor 2000). Indonesia termasuk daerah iklim tropis dan negara kepulauan yang luas dengan iklim yang bervariasi, mempunyai variasi biodiversitas termasuk populasi vektor di masing masing daerah yang sangat beragam. Akibatnya perpindahan vektor dan ternak sangat sering terjadi, dan dapat berakibat pada meningkatnya prevalensi penyakit. Di negara empat musim, perubahan cuaca seperti overwintering, menyebabkan terjadinya kenaikan populasi vektor yang dapat menyebabkan terjadinya wabah BEF di negara yang bersangkutan (Yeruham et al. 2002; 2007).
Selain perpindahan dan peningkatan populasi vektor, perpindahan ternak yang terinfeksi dari satu daerah ke daerah lain dapat menyebabkan infeksi BEF di tempat baru, sehingga prevalensi reaktor BEF akan meningkat (Yeruham et al. 2007). Hal ini juga dilaporkan oleh Aziz-Boaron et al. (2012), yang menyatakan bahwa transportasi hewan dapat menyebarkan infeksi BEF. Dari data tersebut, terlihat jelas bahwa peran vektor dan induk semang sangat berpengaruh terhadap kesinambungan virus BEF (Murray 1997).
Epidemiologi Penyakit
Bovine Ephemeral Fever (BEF), dilaporkan di beberapa Negara dalam beberapa tahun terakhir, antara lain Israel (Yeruham et al. 2002; 2005; 2010), Taiwan (Hsieh et al. 2005), Cina (Qiu et al. 2010; Zheng et al. 2009; Zhao et al. 2008), Jepang (Ogawa 1992), Australia (Uren et al. 1989), Saudi Arabia (Abu Elzein et al. 2006), Iran (Abu Elzein et al. 2006), Mesir (Zaher dan Ahmed 2011), Afrika (Davies et al. 1990; Walker 2005) dan Indonesia (Daniels et al. 1992; Ronohardjo dan Rastiko 1982). Serum yang positif BEF paling banyak ditemukan di Afrika, tidak ditemukan di beberapa negara seperti Eropa, Amerika Utara dan Selatan atau Selandia Baru (Walker 2005). Umumnya, penyakit ini menyebar akibat perpindahan ternak terinfeksi dan vektornya (Yeruham et al. 2007). Perpindahan vektor dapat disebabkan oleh perubahan iklim atau terganggunya ekologi lingkungan. Perubahan iklim dapat mengakibatkan peningkatan jumlah populasi vektor/nyamuk. Kasus BEF dapat overheat shoers produksi ternak. Selain itu, perubahan iklim juga dapat berdampak terhadap peningkatan populasi vektor yang akhirnya dapat menyebabkan peningkatan kasus BEF pada ternak. Sebaliknya, peningkatan suhu yang mencapai overheat, dapat menyebabkan stres pada ternak, yang juga berdampak pada produksi ternak menurun. Untuk itu penempatan breed ternak di suatu daerah harus disesuaikan dengan kondisi sekitarnya, termasuk mengetahui epidemiologi penyakit dan data spesies vektornya sehingga prevalensi infeksi terhadap penyakit dapat diminimalkan.
Epidemiologi Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Indonesia
BEF dilaporkan di Indonesia pertama kali pada tahun 1978 dengan gejala klinis serta menimbulkan kematian pada sapi dewasa. Setelah itu kasus BEF banyak dilaporkan, dan tingkat kematian saat itu mencapai 73% di Jawa Timur. Tingginya angka kematian tersebut dimungkinkan karena merupakan kasus BEF pertama, atau merupakan komplikasi dengan infeksi bakteri Hemorrhagic Septicaemia (HS) (Ronohardjo dan Rastiko 1982).
Hasil serologis pada sapi di beberapa daerah di Indonesia telah dilaporkan oleh Daniels et al. (1992), yang menyatakan bahwa prevalensi reaktor BEF hingga tahun 1992 bevariasi untuk tiap daerah, namun rata-rata prevalensi adalah 24%, seperti terlampir pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Hasil serologis infeksi BEF pada sapi di beberapa provinsi di Indonesia dengan menggunakan uji serum netralisasi tahun 1986-1992.
Provinsi
|
Jumlah sampel
|
Reaktor (%)
|
Aceh
|
55
|
11 (20%)
|
Lampung
|
55
|
18 (33%)
|
Jawa Barat
|
40
|
11 (28%)
|
Jawa Tengah
|
55
|
14 (25%)
|
Jawa Timur
|
24
|
9 (38%)
|
Bali
|
47
|
6 (13%)
|
Nusa Tenggara Barat
|
55
|
15 (27%)
|
Nusa Tenggara Timur
|
29
|
8 (28%)
|
Kalimantan Selatan
|
55
|
14 (25%)
|
Sulawesi Utara
|
39
|
7 (18%)
|
Sulawesi Selatan
|
18
|
3 (17%)
|
Papua Barat
|
55
|
9 (16%)
|
Total
|
527
|
125 (24%)
|
Sumber: Daniels et al. (1992)
Setelah tahun 1992, tidak ada laporan resmi tentang infeksi BEF. Dalam kurun waktu tersebut infeksi BEF mulai mereda atau meningkat, tidak diketahui dengan pasti.Berdasarkan pengamatan klinis di lapang yang dilakukan oleh para dokter hewan baik dari Dinas Peternakan maupun pihak swasta, gejala klinis yang mirip dengan BEF sering ditemukan pada sapi. Namun konfirmasi secara serologis tidak pernah dilakukan. Sementara penelitian BEF yang dilakukan pada tahun 2012, menunjukkan bahwa angka prevalensi reaktor bervariasi mulai dari 0 hingga 44% di lima lokasi dari tiga provinsi di Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan DKI Jakarta (Sendow unpublished data).
Di Indonesia, penelitian mengenai vektor penyakit BEF belum pernah dilaporkan, namun hasil studi longitudinal yang dilakukan oleh Sukarsih et al. (1993), menunjukkan bahwa C. brevitarsis, C. oxystoma, A. bancroti telah banyak ditemukan (Sukarsih et al. 1993). Sementara di Israel, vektor BEF dan virus arbo yang potensial dilaporkan oleh Braverman (2001), seperti Cx. Pipiens, Ochlerotatus, Caspius Oc. Caspius, C. imicola, C. schultzei group dan C. punctatus.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi populasi nyamuk vektor diantaranya perubahan iklim, lingkungan dan ekologi seperti kelembaban, suhu dan kecepatan angin. Telah dilaporkan sebelumnya bahwa BEF lebih banyak terjadi pada daerah beriklim panas dengan kelembaban tinggi (Yeruham et al. 2002; 2010; Thomson dan Connor 2000). Indonesia termasuk daerah iklim tropis dan negara kepulauan yang luas dengan iklim yang bervariasi, mempunyai variasi biodiversitas termasuk populasi vektor di masingmasing daerah yang sangat beragam.Akibatnya perpindahan vektor dan ternak sangat sering terjadi, dan dapat berakibat pada meningkatnya prevalensi penyakit.Di negara empat musim, perubahan cuaca seperti overwintering, menyebabkan terjadinya kenaikan populasi vektor yang dapat menyebabkan terjadinya wabah BEF di negara yang bersangkutan (Yeruham et al. 2002; 2007).
Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan akibat infeksi BEF antara lain demam tinggi dan mendadak,yang dapat mencapai 41-42°C, nafsu makan berkurang, lemas, kelumpuhan, lakrimasi, leleran hidung, kekakuan terutama pada sendi-sendi sehingga tidak dapat berdiri (Momtaz et al. 2012). Pada sapi yangsedang laktasi, infeksi BEF dapat menyebabkan produksi susu berhenti total dan kembali berlaktasi setelah sembuh meskipun produksi susu tidak dapat kembali normal seperti sebelum terinfeksi. Lebih lanjut, penurunan produksi susu dapat berkisar antara 34-95% dengan rata-rata 46% (Momtaz et al. 2012).
Gejala klinis pada sapi betina bunting menyebabkan abortus, sedangkan pada sapi jantan dapatmenyebabkan sterilitas sementara. Hal ini berakibat pada gagalnya reproduksi ternak baik melalui inseminasi buatan maupun kawin alami. Pada kasus tertentu dapat menimbulkan kematian dalam 1-4 hari setelah mengalami kelumpuhan (Nandi dan Negi1999), namun ternak dapat sembuh spontan setelah 3 hari, yang dapat mencapai 97% dari kasus klinis. Komplikasi penyakit ini dapat menimbulkan pneumonia, mastitis, abortus atau pada pejantan menimbulkan sterilitas sementara (Davies et al. 1984;1990).
Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan memberikan vaksinasi BEF atau mengontrol populasi nyamuk vektor. Namun cara kedua ini sangatlah sulit, mengingat masing-masing jenis nyamuk mempunyai media perkembangbiakan yang berbeda. Selain itu,pengaruh cuaca atau iklim sangat besar terhadap perkembang biakan vektor (Nandi dan Negi 1999). Pemberian vaksin BEF dapat mengurangi kasus yang ada, namun perlu dipelajari epidemiologi daerah setempat sehingga pemberian vaksin dapat menjadi lebih optimal.
Hingga saat ini terdapat dua macam vaksin BEF yang beredar, yaitu vaksin mati dan vaksin hidup yang telah diatenuasi. Vaksin mati memiliki kelemahan dalam menggertak respon imun, sehingga mulai banyak digunakan vaksin yang telah diatenuasi.
Pengobatan tidak efektif, namun pemberian antibiotik, anti inflamasi, pemberian cairan dinilai cukup efektif untuk mengurangi terjadinya infeksi sekunder, yang dapat memperparah kondisi hewan, dan dapat berakibat fatal. Di daerah endemik, vaksinasi BEF tidak banyak berpengaruh terhadap pencegahan infeksi BEF. Vaksinasi BEF dapat diberikan padaternak yang belum mempunyai kekebalan terhadap BEF namun rawan terhadap infeksi BEF. Pada umumnya vaksinasi dapat diberikan pada sapi umur di atas tiga bulan hingga dewasa.
Di Indonesia, vaksin BEF belum beredar, namun kasus BEF telah banyak dilaporkan dan reaktor terhadap infeksi BEF telah pula dilaporkan (Daniels etal.1992). Oleh karena itu, perlu dipikirkan apakah pemberian vaksin BEF perlu dilakukan untuk mengurangi kasus.Selain itu perlu adanya studi untuk mengetahui sampai sejauh mana dampak yang ditimbulkan akibat infeksi BEF bagi kesejahteraan peternak.
Umumnya kasus BEF yang ada di Indonesia, sering mengalami komplikasi dengan infeksi bakteri seperti Haemorrhagic Septicaemia (HS). Hal ini telah dilaporkan oleh Ronohardjo dan Rastiko (1982) pada kasus BEF di Jawa Timur. Adanya infeksi HS akan memperparah kondisi sapi tersebut, sehingga vaksinasi HS sangat dianjurkan, mengingat infeksi tunggal BEF jarang menimbulkan kematian. Pemberian vaksin HS ini juga berdampak pada penurunan angka kematian pada sapi.
Selain pemberian vaksin BEF, manajemen yang baik perlu diterapkan dimana sanitasi kandang dan lingkungan harus diperhatikan, jumlah ternak pada satu kandang tidak terlalu padat dan alur pembuangan airdan kotoran yang baik. Kondisi tersebut dapat meminimalkan media perkembangbiakan nyamuk vektor dan penyebaran infeksi BEF pada ternak(Yeruham et al. 2003; 2007).Selain itu sistem karantina yang ketat perlu diterapkan agar lalu lintas ternak dapat dikontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Elzein EM, Al-Afaleq AI, Housawi MF, Al-Basheir AM. 2006. Study on Bovine Ephemeral Fever involving sentinel herds and sero-surveillance in Saudi Arabia. Rev Sci Tech. OIE 25:1147-1151.
Braverman Y. 2001. The vectors of Bovine Ephemeral Fever, akabane and bluetongue viruses in Israel. In: 13th Symposium of Dairy Cattle Science. Isr Zichron Yaakov. p. 81-82.
Daniels PW, Soleha E, Sendow I, Sukarsih. 1992. Bovine Ephemeral Fever in Indonesia. In: St George TD, Uren MF, Young PL, Hoffmann D, editors. Proceedings of the 1st International Symposium on Bovine Ephemeral Fever and Related Rhabdoviruses. Beijing, 25-27 August 1992. Canberra (Aust): Australian Centre for International Agricultural Research.
Davies SS, Gibson DS, Clark R. 1984. The efect of bovine ephemeral fever on milk production. Aust Vet J. 61:128-129.
Davies FG, Ochieng P, Walker AR. 1990. The occurrence of ephemeral fever in Kenya. 1968-1988. Vet Microbiol. 22:129-136.
Della-Porta AJ, Brown F. 1979. The physiochemical and chemical characterization of Bovine Ephemeral Fever.
Hsieh YC, Chen SH, Chou CC, Ting LJ, Itakura C, Wang FI. 2005. Bovine Ephemeral Fever in Taiwan (2001- 2002). J Vet Med Sci. 67:411-416.
Kato T, Aizawa M, Takayoshi K, Kokuba T, Yanase T, Shirafuji H, Tsuda T, Yamakawa M. 2009. Phylogenetic relationships of the G gene sequence of Bovine Ephemeral Fever virus isolated in Japan, Taiwan and Australia. Vet Microbiol. 137:217-223.
Momtaz H, Nejat S, Moazeni M, Riahi M. 2012. Molecular epidemiology of Bovine Ephemeral Fever virus in cattle and buffaloes in Iran.Revue Méd Vét.163:415- 418.
Nandi S, Negi BS. 1999. Bovine Ephemeral Fever: a review. comparative immunology. Microbiol Infect Dis. 22:81-91.
Ronohardjo P, Rastiko P. 1982. Some epidemiological aspects and economic loss of Bovine Ephemeral Fever outbreak in Tuban and surrounding areas East Java, Indonesia. Penyakit Hewan 14:25-29.
St. George TD. 1988. Bovine Ephemeral Fever: a review. Trop Anim Health Prod. 20:194-202.virus as a member of the family Rhabdoviridae. J Gen Virol. 4:99-112.
Sukarsih, Sendow I, Soleha E, Daniels PW. 1993. Longitudinal studies of Culicoides associated with livestock in Indonesia. Proceedings 6th Symposium Arbovirus Research in Australia. Brisbane (Australia): p. 203-209.
Thomson MCL, Connor SJ. 2000. Environmental information systems for the control of arthropod vectors of disease. Med Vet Entomol. 14:227-244.
Uren MF, St. George TD, Zakrzewski H. 1989. The effect of anti-inflammatory agents of the clinical expression of Bovine Ephemeral Fever. Vet Microbiol. 19:99-111.
Walker PJ. 2005. Bovine Ephemeral Fever in Australia andthe world. Curr Top Microbiol Immunol. 292:57-80.
Yeruham I, Braverman Y, Yadin H, Van-Ham M, Chai D, Tiomkin D, Frank D. 2002. Epidemiological investigations of outbreaks of Bovine Ephemeral Fever in Israel. Vet Rec. 151:117-121.
Yeruham I, Van-Ham M, Bar D, Yadin H, Tiomkin D. 2003. Bovine Ephemeral Fever in dairy cattle herds – economic aspects of 1999 outbreak in the Jordan Valley. Vet Rec. 153:180-182.
Yeruham I, Van-Ham M, Stram Y, Friedgut O, Yadin H, Mumcuoglu KY, Braverman Y. 2010. Epidemiological investigation of Bovine Ephemeral Fever outbreaks in Israel.Res Vet Med Int. Volume 2010, Article ID 290541, 5 pages.Januari 2013.
Zheng FY, Qiu CQ. 2012. Phylogenetic relationships of the glycoprotein gene of Bovine Ephemeral Fever virus.
Leave a Reply