PEMERIKSAAN KUALITAS DAGING MENCEGAH KERUGIAN KONSUMEN

Pemeriksaan kualitas daging sangat penting untuk menjamin kesehatan masyarakat karena dengan melakukan pemeriksaan kualitas daging yang benar dan rutin maka masyarakat akan terlindungi dari mengkomsumsi daging yang berkualitas buruk seperti daging yang telah busuk, daging yang berformalin,daging glonggongan ataupun daging yang berasal dari hewan yang tidak disembelih.

Secara umum, kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik pada waktu hewan masih hidup maupun setelah disembelih. Pada waktu hewan hidup, faktor penentu kualitas dagingnya adalah cara pemeliharaan, meliputi pemberian pakan, tata laksana pemeliharaan, dan perawatan kesehatan. Kualitas daging juga dipengaruhi oleh perdarahan pada waktu hewan dipotong dan kontaminasi sesudah hewan dipotong. Daging yang tidak aman dapat membahayakan kesehatan konsumen. Daging yang tidak sehat diantaranya memiliki ciri sebagai berikut :

1. Bau dan rasa tidak normal.

Bau yang tidak normal biasanya akan segera tercium sesudah hewan dipotong. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya kelainan-kelaianan sebagai berikut:

  1. Hewan sakit, terutama yang menderita radang yang bersifat akut pada organ dalam, akan menghasilkan daging yang berbau seperti mentega tengik
  2. Hewan dalam pengobatan, terutama dengan pemberian antibiotika, akan menghasilkandaging yang berbau obat-obatan.

2. Warna daging tidak normal.

Warna daging yang tidak normal tidak selalu membahayakan kesehatan konsumen, namun akan mengurangi selera konsumen.

3. Konsistensi daging tidak normal.

Daging yang tidak sehat mempunyai kekenyalan rendah (jika ditekan dengan jari akan terasa lunak), apalagi diikuti dengan perubahan warna yang tidak normal, maka daging tersebut tidak layak dikonsumsi.

4. Daging busuk.

Daging yang busuk dapat mengganggu kesehatan konsumen, karena dapat menyebabkan gangguan saluran pencernaan. Pembusukan dapat terjadi karena penanganan yang kurang baik pada waktu pendinginan, sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat, atau karena dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu relatif lama pada temperatur kamar, sehingga terjadi proses fermentasi oleh enzim-enzim membentuk asam sulfida dan amonia.

Pada umumnya, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging ada dua macam, yaitu (a). Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi pengahalang atau penghambat; (b). Faktor ekstrinsik, misalnya temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging (Fardiaz, 1992).

Temperatur merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk mengatur pertumbuhan bakteri sebab semakin tinggi temperatur semakin besar pula tingkat pertumbuhannya. Demikian juga kadar pH ikut mempengaruhi pertumbuhan bakteri, hamper semua bakteri tumbuh secara optimal pada pH 7 dan tidak akan tumbuh pada pH 4 atau diatas pH 9. Setelah penyembelihan pH daging turun menjadi 5,6-5,8, pada kondisi ini bakteri asam laktat dapat tumbuh dengan baik dan cepat (Ramli, 2001). Untuk berkembang biak, bakteri membutuhkan air, jika terlalu kering bakteri tersebut akan mati. Zat-zat organik, Gas, CO2 penting aktivitas metaboliknya. pH, kebanyakan bakteri tumbuh dengan baik pada medium yang netral (pH 7,2-7,6). Temperatur, bakteri akan tumbuh optimal pada suhu tubuh ± 370 C (Gibson, 1996).

Ciri-ciri daging yang busuk akibat aktivitas bakteri antara lain sebagai berikut:

  • Daging kelihatan kusam dan berlendir. Pada umumnya disebabkan oleh bakteri dari genus Pseudomonas, Achromobacter, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus dan Micrococcus.
  • Daging berwarna kehijau-hijauan (seperti isi usus). Pada umumnya disebabkan oleh bakteri dari genus Lactobacillus dan Leuconostoc.
  • Daging menjadi tengik akibat penguraian lemak. Pada umumnya disebabkan oleh bakteri dari genus Pseudomonas dan Achromobacter.
  • Daging memberikan sinar kehijau-hijauan. Pada umumnya disebabkan oleh bakteri dari genus Photobacterium dan Pseudomonas.
  • Daging berwarna kebiru-biruan. Pada umumnya disebabkan oleh bakteri Pseudomonas sincinea.

Pemeriksaan kualitas daging umumnya dilakukan dengan metode sebagai berikut:

1. Pemeriksaan secara Organoleptik  meliputi :

– Warna
– Tekstur
– Konsistensi
– Uji Bau

2. Pemeriksaan  pH

3 Uji Pembusukan
-Uji Eber ( + ) berasap putih
-Uji Postma ( + ) lakmus biru
-Uji H2S ( + ) Jika terdapat bintik-bintik coklat pada kertas

4 Uji Malachite Green

5 Mikrobiologi Daging

6. Daya Ikat air dan kadar air

1. Pemeriksaan Organoleptik
Pemeriksaan organoleptik merupakan pemeriksaan yang mengandalkan organ panca indra dalam menentukan kualitas daging. Pada sampel daging segar yang diperiksa sangat jelas menunjukkan bahwa daging tersebut masih segar kalau dilihat dari pemeriksaan secara organoleptik. Dimana baik penampilan, warna, tekstur dan konsistensinya masih memenuhi kriteria daging yang masih segar. Pada sampel daging dingin yang diperiksa setelah 24 jam menunjukkan bahwa daging tersebut belum terjadi pembusukan, pada daging beku yang diperiksa setelah 7 hari juga menunjukkan belum terjadinya pembusukan. Sampel daging busuk menunjukkan perubahan yang sangat jelas, dimana bau sudah menjadi amis, warna merah kehitaman, berlendir dan tekstur licin akibat pengeluaran lendir.
Warna daging pada daging segar disebabkan oleh adanya pigmen merah keunguan yang disebut myoglobin yang berikatan dengan oksigen yang struktur kimianya hampir sama dengan haemoglobin. Tekstur dan konsistensi dari daging sangat ditentukan oleh protein-protein penyusunnya. Warna daging yang baru diiris biasanya merah ungu gelap. Warna tersebut berubah menjadi terang (merah ceri) bila daging dibiarkan terkena oksigen, perubahan warna merah ungu menjadi terang tersebut bersifat reversible (dapat balik). Namun, jika daging tersebut terlalu lama terkena oksigen maka warna merah terang akan berubah menjadi cokelat. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna daging segar, mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia. Bila terkena udara, pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang menghasilkan warna merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna cokelat. Timbulnya warna coklat menandakan bahwa daging telah terlalu lama terkena udara bebas, sehingga menjadi rusak. (Astawan, 2004).

Bau daging disebabkan oleh fraksi yang mudah menguap dimana pada jaringan otot yang masih hidup mengandung adenosin-5-trifosfat yang dikonfersi setelah penyembelihan menjadi inosin-5-monofosfat. Daging yang masih segar berbau seperti darah segar (Arka dkk, 1998).

Ciri-ciri bau daging yang baik secara spesifik yaitu tidak ada bau menyengat, tidak berbau amis, dan tidak berbau busuk. Bau daging bisa juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, suhu, cara penyimpanan, peralatan yang digunakan, dan kemasan yang digunakan.

Cara penanganan daging yang higienis yaitu dengan memantau asal daging yang berasal dari ternak yang sehat dengan pengawasan dari dokter hewan, suhu penyimpanan untuk daging segar 2 0C – 4 0C, peralatan yang digunakan terjaga kebersihan dan sanitasinya, kemasan yang digunakan tidak terbuat dari bahan yang mencemari daging.

Kualitas daging yang baik dengan kesehatan daging yang memadai dan boleh beredar di masyarakat sebaiknya mempunyai keasaman antara 5,3 – 5,8 , tidak terdapat tenunan pengikat, kepualamannya bernilai 3, beban kuman maksimum 0,5 juta/gr, sedangkan untuk coliform maksimum 100/gr daging.

2. Pemeriksaan Awal Pembusukan
Pemeriksaan awal pembusukan yang dilakukan dengan uji Eber. Jika terjadi pembusukan, maka pada uji ini ditandai dengan terjadi pengeluaran asap di dinding tabung, dimana rantai asam amino akan terputus oleh asam kuat (HCl) sehingga akan terbentuk NH4Cl (gas). Pada daging sapi segar, dingin, dan beku yang diperiksa hasilnya negatif dimana tidak terdapat NH4Cl setelah diuji dengan mengunakan larutan Eber karena pada daging-daging tersebut belum terbentuk gas NH3 . Pada daging busuk jelas terlihat gas putih (NH4Cl) pada dinding tabung karena pada daging busuk gas NH3 sudah terbentuk.
Selain uji Eber, bisa dilakukan uji Postma. Hasil pemeriksaan uji Postma menunjukkan bahwa sampel daging segar belum mulai terjadi pembusukan, sampel daging dingin dan daging beku juga menunjukkan hasil negatif. Hasil positif hanya ditunjukkan oleh sampel daging busuk, yaitu dengan adanya perubahan warna kertas lakmus pada cawan petri. Pada prinsipnya, daging yang sudah mulai membusuk akan mengeluarkan gas NH3. NH3 bebas akan mengikat reagen MgO dan menghasilkan NH3OH. Pada daging yang segar tidak terbentuk hasil NH3OH karena belum adanya NH3 yang bebas. Jika tidak terjadinya perubahan warna kertas lakmus karena MgO merupakan ikatan kovalen rangkap yang sangat kuat sehingga walaupun terdapat unsur basa pada MgO tersebut, namun basa tersebut tidak lepas dari ikatan rangkapnya. Jika adanya NH3 maka ikatan tersebut akan terputus sehingga akan terbentuk basa lemah NH3OH yang akan merubah warna kertas lakmus dari merah menjadi biru.
Dari hasil uji H2S pada sampel daging segar menunjukkan bahwa daging tersebut belum terjadi pembusukan, sampel daging dingin dan daging beku juga menunjukkan hasil negatif. Uji H2S pada dasarnya adalah uji untuk melihat H2S yang dibebaskan oleh bakteri yang menginvasi daging tersebut. H2S yang dilepaskan pada daging membusuk akan berikatan dengan Pb acetat menjadi Pb sulfit (PbSO3) dan menghasilkan bintik-bintik berwarna coklat pada kertas saring yang diteteskan Pb acetat tersebut. Hanya kelemahan uji ini, bila bakteri penghasil H2S tidak tumbuh maka uji ini tidak dapat dijadikan ukuran. Pembusukan dapat terjadi karena dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu relatif lama sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan terjadi proses fermentasi oleh enzim-enzim yang membentuk asam sulfida dan amonia.

3. Pengukuran pH Ekstrak Daging
Standar pH daging hewan sehat dan cukup istirahat yang baru disembelih adalah 7-7,2 dan akan terus menurun selama 24 jam sampai beberapa hari. Jika terjadi pembusukan maka pH nya akan kembali ke 7. Jarak penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging dari seekor hewan dan antara hewan juga berbeda. Nilai pH daging post mortem akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan akan terbatas bila hewan terdepresi karena lelah. Setelah hewan disembelih, penyedian oksigen otot terhenti. Dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi dari otot. Jadi daging hewan yang sudah disembelih akan mengalami penurunan pH (Purnomo dan Adiono, 1985).
Hasil perhitungan pH daging segar adalah 7,2 yang berarti daging tersebut berasal dari hewan yang sehat. Setelah 24 jam di dalam refrigerator pH daging mengalami penurunan karena adanya aktivitas mikroba yang menyebabkan proses glikolisis menghasilkan asam laktat. Begitu pula yang terjadi pada daging beku. Namun, pada daging busuk pH meningkat karena penurunan aktivitas mikroba penghasil asam karena persediaan glikogen yang semakin terbatas dan diikuti aktivitas mikroba penghasil senyawa basa.

4. Malachit Green Test
Pada uji Malachit Green test ini untuk mengetahui hewan disembelih dengan sempurna atau tidak. Hasil uji yang dilakukan memberikan hasil negatif, yang berarti daging tersebut berasal dari hewan yang disembelih sempurna. Penyembelihan dan pengeluaran darah yang tidak sempurna akan diketahui, karena akan dijumpai banyak Hb dalam daging sehingga O2 dari H2O2 3% tidak mengoksidasi Malachit Green menyebabkan warna larutan hijau. Sebaliknya, jika tidak ada Hb, maka O2 akan mengoksidasi Malachit Green menjadi warna biru. Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk serta mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat dikeluarkan 50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie, 1995).
Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk serta mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat dikeluarkan 50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie, 1995).

5. Pemeriksaan Mikrobiologi
Dari hasil pemeriksaan mikroba pada daging sapi segar didapat hasil Total Plate Count (TPC) adalah 1,5 x 105 bakteri/ml, daging sapi yang telah di simpan di dalam refrigerator selama 24 jam diperoleh 9,6 x 105 bakteri/ml, daging yang dibekukan selama 7 hari 2,3 x 106 bakteri/ml, dan pada daging busuk 1,2 x 107 bakteri/ml. Hasil perhitungan TPC dari daging sapi segar dan daging sapi yang telah disimpan di dalam refrigerator selama 24 jam masih berada di bawah angka standar yang diperbolehkan untuk dikonsumsi, yaitu 1 x 106 bakteri/ml. Hasil perhitungan TPC pada daging yang disimpan di dalam freezer selama 7 hari dan daging busuk didapatkan hasil di atas angka standar yaitu 2,3 x 106 dan 1,2 x 107 bakteri/ml, berarti daging-daging tersebut sudah banyak mengandung bakteri sehinga tidak baik lagi untuk dikomsumsi.
Hasil pemeriksaan mikroba yang dilakukan pada kulit ayam lebih tinggi dari angka maksimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hasil perhitungan TPC kulit ayam adalah 8 x 107, padahal batas maksimum cemaran mikroba dalam karkas ayam mentah berdasarkan SK Dirjen POM No. 03726/8/SK/VII/85 adalah 106 bakteri/ml dan harus negatif dari Salmonella sp.
Menurut Lawrie (1995) mengatakan bahwa kontaminasi mikroba pada daging dapat terjadi pada saat hewan tersebut masih hidup sampai sewaktu akan dikonsumsi. Sumber kontaminasi dapat berasal dari tanah, kulit hewan, alat jeroan, air pencelupan, alat yang dipakai selama proses persiapan karkas, kotoran hewan, udara dan dari pekerja.
Pada umumnya, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging ada dua macam, yaitu (a). Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi pengahalang atau penghambat; (b). Faktor ekstrinsik, misalnya temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging (Fardiaz.dkk, 1992).

6. Daya Ikat Air dan Kadar Air
Air adalah komposisi utama cairan ekstraseluler. Air daging mempengaruhi kualitas daging, terutama terhadap kebasahan, keempukan, warna dan citarasa.

Air yang ada dalam daging juga merupakan medium universal dari reaksi-reaksi kimia, biokimia, dan biologi, termasuk sebagai medium untuk menstransformasikan substrat-substrat diantara sistem vaskuler dan serabut otot.

Daya ikat air oleh protein daging atau water-holding capacity atau water-binding capacity (WHC atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno, 1992).

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anonimus. (2004). Panduan Pelaksanaan Kegiatan Kesehatan Masyarakat Veteriner. DirektoratKesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian, http://www.deptan.go.id.

Astawan, M. (2004). Mengapa Kita Perlu Makan Daging. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, IPB. http://www.gizi.net.

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pengelolaan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. (1981).Food Microbiology. Tata McGraw-Hill Publication Co. Ltd, New Delhi.

Gamman P.M. dan K.B. Sherrington.(1992). Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Gibson, J. M. (1996). Mikrobiologi dan Patologi Modern Untuk Perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Lawrie. (1995). Ilmu Daging. Penerjemah Parakkasi. UI Press, Jakarta.

Purnomo, H. dan Adiono. (1985). Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Ramli. (2001). Perbandingan Jumlah Bakteri pada Ayam Buras Sebelum dan Setelah Penyembelihan. Skripsi, Fakultas Kedoteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Winarno, F.G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Winarno, F.G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Winarno, F. G. dan Rahayu T. S. (1994). Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.