Persepsi Masyarakat Terhadap Pemotongan Sapi Betina Produktif
oleh :drh.K.Adnan Sahiman
Sejak dua dekade terakhir ini, Indonesia mengimpor daging dan sapi bakalan dalam jumlah yang cukup besar. Diperkirakan impor telah mencapai lebih dari 30 persen dari total kebutuhan daging nasional. Ada tiga kemungkinan, mengapa Indonesia harus mengimpor, padahal pada era tahun 1970-an atau sebelumnya Indonesia justru merupakan eksportir sapi. Pertama, permintaan daging meningkat cukup besar dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan laju pertambahan produksi. Kedua, permintaan di dalam negeri meningkat tetapi produksi di dalam negeri tetap. Ketiga, permintaan terus meningkat seirama dengan perkembangan ekonomi, namun produksi daging di dalam negeri cenderung berkurang.
Pemotongan sapi betina produktif merupakan suatu pelanggaran terhadap Undang – Undang dimana Dasar Hukum Larangan Pemotongan Sapi Betina Produktif adalah Undang – Undang No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 18 ayat (2) . T ernak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil ternak yang baik, kecuali untuk 2 keperluan penelitian, pemuliaan atau untuk keperluan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewa.
Persepsi Masyarakat Terkait Pemotongan
Terkait dengan isu pemotongan betina produktif ini, ternyata sebagian masyarakat bisa dikatakan tidak perduli dengan hal tersebut. Hal tersebut dikarenakan minimnya pengetahuan mereka tentang peraturan pelarangan pemotongan betina produktif tersebut. Bukan hanya masyarakat, sebagian pimpinan daerah pun ada yang belum mengetahui pelarangan ini karena minimnya informasi dari dinas terkait.
Umumnya Rumah Potong Hewan memang dibangun jauh dari pemukiman penduduk, akan tetapi seiring dengan semakin berkembangannya populasi msyarakat perkotaan tidak jarang sekitar RPH banyak dijumpai pemukiman penduduk. Hal ini disebabkan pembangunan RPH juga diiringi dengan pembangungan sarana dan prasarana penunjang RPH seperti akses jalan, air dan listrik. Hal tersebut menyebabkan aktivitas RPH banyak diketahui oleh masyarakat termasuk pemotongan betina produktif.
Aktifitas pemotongan betina produktif oleh rumah potong hewan oleh masyarakat sekitar RPH diketahui dari banyaknya sapi betina yang masuk ke RPH dan banyaknya fetus (calon pedet sapi) yang tiap hari diangkut untuk dibuang ke tempat pembuangan sampah.
Umumnya masyarakat yang ditanya terkait pemotongan tersebut umumnya menyatakan tidak setuju namun jika lebih lanjut ditanyakan maka alasannya karena kasihan sebab kondisi induk yang sedang bunting namun dipotong. Jika ditanya terkait peraturan pelarangan pemotongan atau dampaknya terhadap swasembada daging umumnya mereka tidak mengetahui.
Masyarakat sekitar RPH pun ketika ditanya “apakah aktifitas pemotongan betina produktif tersebut mengganggu mereka?” umumnya menjawab cukup terganggu. Akan tetapi, masyarakat bukan terganggu karena pemotongan betina produktif tersebut secara langsung namun akibat fetus hasil pemotongan betina produktif yang terkadang tidak segera diangkut ke tempat pembuangan sampah atau tidak sengaja hanyut di sungai sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Kita semua sepakat, bahwa pemotongan betina produktif harus dicegah dan hal ini butuh partisipasi oleh berbagi pihak. Berdasarkan wawancara kami dengan warga sekitar RPH dan para pejagal di RPH ternyata sebagian besar tidak mengetahui tentang peraturan tersebut. Jika ada yang mnegetahui itupun hanya sebagatas dengan melihat spanduk yang pernah ditempelkkan disekitar RPH, lebih lanjut dari itu tidak ada. Bahkan bisa dikatakan pihak pengelola rumah potong yang notabene menempelkan spanduk pelarangan pun seolah tidak perduli dengan maraknya kasus pemotongan betina produktif yang terjadi. Jika pihak pengelola Rumah Potong hewan saja tidak perduli lantas apakah kita dapat mengharapkan masyarakat bisa perduli terkait hal ini?
Semoga kedepan tingkat pemotongan betina broduktif bisa semakin dikurangi sampai pada akhirnya tidak ada sama sekali pemotongan betina produktif yang terjadi
Leave a Reply