Proyeksi penyakit unggas setahun kedepan menjadi topik menarik untuk dibahas setiap akhir tahun sebagai langkah kesiapsiagaan dalam menapaki masa depan agar hasil yang lebih baik bisa diwujudkan terlebih di new era saat pandemi covid 19 saat ini. Pandemi covid 19 yang melanda dunia saat ini tentunya tidak menghalangi usaha kita untuk terus berkarya dibidang peternakan ini dengan meyediakan produk pagan berkualitas untuk mendukung kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mendapatkan produk yang berkualitas maka banyak hal yang harus diperhatikan, salah satu diantaranya adalah terkait masalah penyakit unggas.
Semua pihak pasti sepakat bahwa penanganan penyakit unggas merupakan salah satu kunci sukses dalam menjalankan budidaya, karena ayam yang sehat akan menghasilkan produktivitas yang optimal dan keuntungan yang lebih baik bagi peternak.
Proyeksi atau prediksi penyakit unggas tahun depan bukanlah hal yang mustahil karena hal tersebut bisa diperkirakan mengingat perkembangan penyakit unggas setiap tahunnya tidak jauh berbeda dengan tahun tahun sebelumnya, bahkan bisa dikatakan cenderung berulang. Hal tersebut mengarahkan kita untuk mulai berpikir, faktor apakah yang menyebabkan penyakit-penyakit tersebut? Apakah faktor penyebabnya tidak bisa dieliminasi? Apakah karena kita tidak belajar dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya? Ataukah karena agen penyakit yang bermutasi sehingga mampu mencari celah untuk memporakporandakan program kesehatan dan biosekuriti yang telah disusun dan diterapkan peternak?
Data yang di keluarkan oleh Technical Education and Consultation Medion tahun 2018-2020 dapat kita gunakan sebagai acuan kondisi kedepan. Pada data tersebut kita ketahui bahwa ada perbedaan jenis penyakit yang menginfeksi pada ayam pedaging dan ayam petelur baik itu penyakit akibat virus dan non virus.
Pada unggas pedaging dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun trendnya hampir sama yaitu masih didominasi oleh Gumboro atau Infectious Bursal Disease. Berdsarkan data pada grafik dapat dilihat bahwa sejak tahun 2018 terjadi peningkatan kasus gumboro pada ayam pedaging. Banyaknya kejadian kasus gumboro ini salah satunya diindiksikan karena kurangnya penerapan biosecurity pada farm. Kita ketahui bersama bahwa virus gumboro ini tahan lama pada lingkungan dan sehingga peluang muncul kembali pada periode berikutnya akan lebih tinggi. Hal ini berbeda dengan AI yang meskipun tidak kalah ganas namun virusnya relatif lemah dan tidak tahan lama, sehingga jarang muncul berulang pada farm yang sama.
Pada ayam yang terinfeksi gumboro, saat dilakukan bedah bangkai atau nekropsi maka akan tampak gambaran bursa membengkak (oedematous), perdarahan pada bursa fabricius, perdarahan pada otot dada atau paha. Gambaran hasil nekropsi ini lebih valid untuk dijadikan pegangan karena gejala klinis yang tampak tidak spesifik dan bisa dikelurukan dengan gejalan penyakit lainnya. Hal ini disebabkan kejadian gumboro yang mengakibatkan immunosupresi menyebabkan penyakit lain mudah masuk dan akhirnya bisa mengacaukan diagnosa.
Pada penanganan kasus gumboro ini, selain biosecurity yang harus diperketat, pelaksanaan vaksinasi yang tepat juga harus dilakukan sebagai langkah pencegahan. Pemilihan vaksin gumboro yang sesuai dengan strain gumboro yang menyerang serta cara pemberian dan waktu pemberian yang tepat juga sangat penting dalam menunjang keberhasilan program pencegahan gumboro. Pada kasus gumboro ada istilah ‘okupasi’yang merupakan suatu kondisi dimana virus dari vaksin menduduki bursa lebih dulu daripada virus lapangan, sehingga bursa memberikan respon positif untuk membentuk kekebalan. Sekalipun virus lapangan kemudian mencapai bursa, namun virus lapangan tidak bisa menginfeksi bursa. Sebaliknya, bila virus lapangan terlebih dulu mencapai bursa, maka ayam akan terinfeksi dan vaksin tidak bisa bekerja dengan baik. Virus dari vaksin dapat bekerja secara tepat ketika maternal antibodi gumboro turun, maka virus vaksin akan di lepas ke bursa dan menggertak kekebalan. Hal ini dapat terjadi secara individu sekalipun DOC berasal dari sumber yang berbeda dan memiliki maternal antibodi yang berbeda.
Posisi kedua penyakit akibat virus yang menyerang unggas pedaging adalah Inclusion Body Hepatitis (IBH) yang merupakan penyakit akut pada ayam muda (kurang dari 6 minggu) dengan ciri adanya anemia, sayap terkulai, jengger dan pial pucat sehingga menyebabkan kematian mendadak tanpa menunjukkan gejala klinis yang jelas. Penyakit yang disebabkan oleh Aviadenovirus, familia Adenoviridae ini sebenarnya sudah mulai muncul pada tahun 2015 namun pada tahun 2017 meningkat kejadiannya sampai 40% dari tahun sebelumnya dan terus stabil bahkan kejadiannya melebihi kasus ND. Pencegahan penyakit ini tentunya dengan penerapan manajemen yang optimal, meliputi sanitasi dan desinfeksi yang ketat dan program pencegahan penyakit imunosupressif yang optimal. Vaksinasi AAV pada ayam pembibit sekitar 3 – 4 minggu sebelum bertelur juga merupakan upaya penting dalam rangka mencegah penularan secara vertikal dan mencegah penyakit pada anak ayam sehingga Anak ayam akan memiliki antibodi maternal tinggi sehingga tahan terhadap infeksi awal.
Penyakit non bakterial nomor wahid ditempati oleh CRD yang dari tahun ke tahun selalu menjadi momok bagi para peternak unggas pedaging. kejadian CRD ini sangat sering karena faktor pemicunya memang banyak mulai dari faktor lingkungan kandang, iklim, kondisi kesehatan ayam, nutrisi dan juga management secara keseluhan. Kejadian CRD ini juga jika tidak segera ditangani dengan baik maka akan memunculkan kasus baru yaitu CRD kompleks yang merupakan kolaborasi CRD dengan penyakit lainnya seperti colibasilosis. Oleh karena itu, perbaikan manajemen dan upaya penanganan segera agar infeksi tidak meluas dengan penyemprotan CERDEX perlu dilakukan. Penyemprotan CERDEX pada ayam yang terinfeksi CRD terbukti ampuh mengembalikan kondisi dalam waktu 1-2 hari. Hal ini penting karena semakin lama ayam terinfeksi maka berat badan akan semakin turun dan sulit terkejar sehingga kerugian akan semakin besar.
Pada unggas petelur, kejadian penyakit virus terdapat perbedaan yaitu lebih didominasi oleh penyakit Flu Burung atau Avian Influenza. Kejadian Gumboro dan IBH yang sering terjadi pada ayam pedaging tampaknya bukan perkara serius pada ayam petelur meskipun jumlahnya juga cukup tinggi.
Penyakit non virus pada unggas petelur ternyata tidak berbeda jauh dengan penyakit pada ayam pedaging yaitu masih seputar penyakit pernafasan yaitu CRD dan Coryza. Hal ini menujukan bahwa upaya penanganan terkait penyakit pernafasan merupakan hal serius yang harus diperhatikan mulai dari menjaga sirkulasi udara, kepadatan kadang, kelembapan, level amoniak, penyerapan nutrisi saluran cerna dll. Selain itu, upaya pengobatan yang cepat dan efektif juga diperlukan agar tidak menghambat proses produksi telur jika sudah pada masa layer dan proses pembentukan organ reproduksi jika pada masa pulet. Oleh karena itu, stok CERDEX harus selalu tersedia agar penanganan kasus bisa sesegera mungkin.
Pada sisi lain, meningkatnya harga bahan baku pakan ternak yang terus-menerus belakangan ini dengan sendirinya juga mendatangkan konsekuensi terkait dengan kualitas pakan. Dengan naiknya harga pakan, peternak akan tergiur mencari sumber lain yang lebih murah dengan kualitas yang umumnya tidak jelas baik dari kandungan nutrisi maupun tingkat kontaminasinya senyawa berbahaya seperti jamur. Hal tersebut menjadikan mikotoksikosis atau penyakit akibat kontaminasi racun jamur menjadi isu penting pada tahun depan.
Terlepas dari ancaman penyakit unggas yang selalu mengancam, perlu juga diperhatikan terkait kualitas sumber daya manusia pada sektor perunggasan yang memegang peranan penting terhadap kejadian penyakit unggas di lapangan. Kondisi new normal ditengah wabah covid 19 ini memaksa semua pihak membatasi aktivitas fisik sehingga dikhawatirkan peran petugas yang selama ini telah berjalan baik menjadi tidak masimal ditahun mendatang. Pembatasan aktifitas fisik ini bisa menjadi sebab disepelekan praktik-praktik manajemen yang sekilas pengaruhnya tidak langsung terlihat namun berdampak besar terhadap kondisi kesehatan unggas seperti menjaga kebersihan lingkungan kandang dan sapronak, manajemen litter, brooding maupun buka tutup tirai, dll.
Permasalahan dunia peternakan memang cukup kompleks terlebih saat ini kita dihadapkan pada kondisi yang memaksa kita melakukan banyak perubahan pada semua sektor. Oleh karena itu, semua insan peternakan harus tetap dinamis mencari solusi terhadap permasalahan yang ada, saling berkomunikasi, membangun relasi yang baik antar insan peternakan sehingga tercipta atmosfir dunia usaha yang saling menguntungkan semua pihak. Semoga sedikit yang kami sampaikan ini bisa bermanfaat…
Leave a Reply