Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala, yang mengakibatkan produktivitas ternak masih rendah. Salah satu kendala tersebut adalah masih banyak kasus gangguan reproduksi menuju kepada adanya kemajiran ternak betina. Hal ini ditandai dengan rendahnya angka kelahiran pada ternak tersebut.
Lama satu siklus birahi merupakan proporsi lama kebuntingan yang penting dan bila satu siklus hilang karena ketidakberhasilan pembuahan ini merupakan kerugian ekonomi pada sistem produksi yang intensif dan hilangnya siklus kedua karena kegagalan dalam mendeteksi dan menginseminasi kembali hewan yang tidak bunting juga dapat merugikan dalam segi ekonomi (Hunter, 1981).
Secara ideal hanya sapi-sapi betina dan pejantan yang normal, sehat dan sangat fertil yang harus dikawinkan, akan tetapi sapi betina maupun sapi jantan mempunyai kesuburan yang berbeda-beda. Apabila sapi betina kurang subur maka kesuburan pejantan menjadi sangat penting (Toelihere, 1981).
Kawin Berulang (Repeat Breeding)
Sebagaimana umumnya pada mamalia, aktivitas reproduki pada ternak besar mulai beberapa saat sebelum pertumbuhan selesai dan terjadi lebih dini pada hewan yang baik kondisi nutrisinya. Sapi dara menunjukkan perilaku birahi pada umur 8-18 bulan (lebih umum 9-13 bulan) dan lama siklus birahi 20-21 hari (Hunter, 1981).
Sapi kawin berulang (repeat breeding) adalah sapi betina yang mempunyai siklus dan periode birahi yang normal yang sudah dikawinkan 2 kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan semen pejantan fertil tetapi tetap belum bunting (Toelihere, 1981).
Kawin berulang bisa menjadi faktor utama ketidaksuburan. Kawin berulang dapat terjadi apabila sapi betina yang belum bunting setelah tiga kali atau lebih kawin. Dalam kelompok hewan fertil yang normal, dimana kecepatan pembuahan biasanya 50-55%, kira-kira 9-12% sapi betina menjadi sapi yang kawin berulang (Brunner, 1984).
Menurut Zemjanis (1980) secara umum kawin berulang disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu :
- Kegagalan pembuahan/fertilisasi
- Kematian embrio dini
Pada kelompok lain, bangsa ternak yang bereproduksi normal, kegagalan pembuahan dan kematian embrio dini dapat mencapai 30-40%. Kematian embrio dini pada induk yang normal terjadi karena pada dasarnya embrio sampai umur 40 hari, kondisinya labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak baik atau kekurangan pakan (Hardjopranjoto, 1995).
I. Kegagalan Pembuahan/fertilisasi
Faktor kegagalan pembuahan merupakan faktor utama penyebab kawin berulang sapi, termasuk dalam faktor ini adalah :
1. Kelainan Anatomi Saluran Reproduksi
Menurut Hardjopranjoto (1995), kelainan anatomi dapat bersifat genetik dan non genetik. Kelainan anatomi saluran reproduksi ini ada yang mudah diketahui secara klinis dan ada yang sulit diketahui, yaitu seperti :
a. Tersumbatnya tuba falopii (saluran telur)
b. Adanya adhesi antara ovarium dengan bursa ovarium
c. Lingkungan dalam uterus yang kurang baik (bisa disebabkan banyak hal)
d. Fungsi yang menurun dari saluran reproduksi.
Meskipun kegagalan pembuahan terjadi pada hewan betina namun faktor penyebab juga terjadi pada hewan jantan atau dapat disebabkan karena faktor manajemen yang kurang baik (Zemjanis, 1980). Oleh karena itu, pejantan yang digunakan juga harus dalam kondisi prima
2. Kelainan Ovulasi
Kelainan ovulasi dapat menyebabkan kegagalan pembuahan sehingga akan menghasilkan sel telur yang belum cukup dewasa sehingga tidak mampu dibuahi oleh sperma dan menghasilkan embrio yang tidak sempurna (Hardjopranjoto, 1995). Kelainan ovulasi dapat disebabkan oleh :
a. Kegagalan ovulasi karena adanya gangguan hormon dimana karena kekurangan atau kegagalan pelepasan LH (Toelihere, 1981). Kegagalan ovulasi dapat disebabkan oleh endokrin yang tidak berfungsi sehingga mengakibatkan perkembangan kista folikuler (Zemjanis, 1980).
b. Ovulasi yang tertunda (delayed ovulation). Normalnya ovulasi terjadi 12 jam setelah estrus. Ovulasi tidak sempurna biasanya berhubungan dengan musim dan nutrisi yang jelek (Arthur, 1975).
c. Ovulasi ganda adalah ovulasi dengan dua atau lebih sel telur. Pada hewan monopara seperti sapi, kerbau, kasusnya mencapai 13,19% . (Hardjopranjoto, 1995).
3. Sel Telur Yang Abnormal
Beberapa tipe morfologi dan abnormalitas fungsi telah teramati dalam sel telur yang tidak subur seperti; sel telur raksasa, sel telur berbentuk lonjong (oval), sel telur berbentuk seperti kacang dan zona pellucida yang ruptur (Hafez, 1993). Kesuburan yang menurun pada induk-induk sapi tua mungkin berhubungan dengan kelainan ovum, ovum yang sudah lama diovulasikan menyebabkan kegagalan fertilisasi (Toelihere, 1981).
4. Sperma Yang Abnormal
Sperma yang mempunyai bentuk abnormal menyebabkan kehilangan kemampuan untuk membuahi sel telur di dalam tuba falopii. Kasus kegagalan proses pembuahan karena sperma yang bentuknya abnormal mencapai 24-39% pada sapi induk yang menderita kawin berulang dan 12-13% pada sapi dara yang menderita kawin berulang (Hardjopranjoto, 1995).
5. Kesalahan Pengelolaan Reproduksi
Kesalahan pengelolaan reproduksi dapat berupa :
- Kurang telitinya dalam deteksi birahi sehingga terjadi kesalahan waktu untuk diadakan inseminasi buatan (Toelihere, 1981). Deteksi birahi yang tidak tepat menjadi penyebab utama kawin berulang, karena itu program deteksi birahi harus selalu dievaluasi secara menyeluruh. Saat deteksi birahi salah, birahi yang terjadi akan kecil kemungkinan terobservasi dan lebih banyak sapi betina diinseminasi berdasarkan tanda bukan birahi, hal ini menyebabkan timing inseminasi tidak akurat sehingga akan engalami kegagalan pembuahan (Brunner, 1984).
- Penyebab kawin berulang meliputi kualitas sperma yang tidak baik dan teknik inseminasi yang tidak tepat (Brunner, 1984).
- Sapi betina yang mengalami metritis, endometritis, cervitis dan vaginitis dapat menjadi penyebab kawin berulang pada sapi (Brunner, 1984).
- Manajemen pakan dan sanitasi kandang yang tidak baik (Toelihere, 1981).
- Kesalahan dalam memperlakukan sperma, khususnya perlakuan pada semen beku yang kurang benar, pengenceran yang kurang tepat, proses pembekuan sperma, penyimpanan dan thawing yang kurang baik (Toelihere, 1981).
- Faktor manajemen lain seperti pemelihara atau pemilik ternak hendaknya ahli dalam bidang kesehatan reproduksi (Toelihere, 1981).
II. Kematian Embrio Dini
Kematian embrio menunjukkan kematian dari ovum dan embrio yang fertil sampai akhir dari implantasi (Hafez, 1993). Faktor yang mendorong kematian embrio dini adalah :
1.Faktor Genetik
Kematian embrio dini pada sapi betina sering terjadi karena perkawinan inbreeding atau perkawinan sebapak atau seibu, sehingga sifat jelek yang dimiliki induk jantan maupun betina akan lebih sering muncul pada turunannya (Hardjopranjoto, 1995).
2. Faktor Laktasi
Terjadinya kematian embrio dini dapat dihubungkan dengan kurang efektifnya mekanisme pertahanan dari uterus, stres selama laktasi dan regenerasi endometrium yang belum sempurna (Hafez, 1993).
3. Faktor Infeksi
Apabila terjadi kebuntingan pada induk yang menderita penyakit kelamin dapat diikuti dengan kematian embrio dini atau abortus yang menyebabkaninfertilitas (Hardjopranjoto, 1995).
4. Faktor Kekebalan
Jika mekanisme imunosupresi tidak berjalan dengan baik, maka antibodi yang terbentuk akan mengganggu perkembangan embrio di dalam uterus (Hafez, 1993).
5. Faktor Lingkungan
Kematian embrio dini meningkat pada hewan induk dimana suhu tubuhnya meningkat (Hafez, 1993)
6. Faktor Ketidakseimbangan Hormon
Ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron dapat menyebabkan terjadinya kematian embrio dini (Hafez, 1993).
7. Faktor Pakan
Kekurangan pakan mempunyai pengaruh terhadap proses ovulasi, pembuahan dan perkembangan embrio dalam uterus (Toelihere, 1981).
8. Umur Induk
Kematian embrio dini banyak terjadi pada hewan yang telah berumur tua, hal ini dapat disebabkan pada hewan tua sudah mengalami banyak kemunduran dalam fungsi endokrinnya (Hardjopranjoto, 1995).
9. Jumlah Embrio atau Fetus Dalam Uterus
Karena placenta berkembang dimana berisi beberapa embrio didalam ruang uterus maka suplai darah vaskuler akan menurun sehingga dapat menyebabkan kematian embrio (Hafez, 1993).
Diagnosa
Diagnosa pada hewan betina yang menderita kawin berulang dapat dilakukan dengan cara : pemeriksaan klinis pada alat kelamin betina (pemeriksaan eksplorasi rektal, dengan alat endoskop, palpasi servik dan vagina), pemeriksaan pada biopsi cairan uterus dan vagina, pemeriksaan hormon, pemeriksaan sitologi dan laparotomi (Hardjopranjoto, 1995).
Terapi
Terapi pada sapi yang menderita kawin berulang bertujuan untuk meningkatkan angka kebuntingan. Induk yang menderita penyakit karena adanya kuman pada saluran alat kelamin maka dilakukan pengobatan dengan memberikan larutan antibiotika yang sesuai dan diistirahatkan sampai sembuh, baru dilakukan perkawinan dengan inseminasi buatan. Bila karena indikasi ketidakseimbangan hormon reproduksi dapat ditingkatkan dengan pemberian GnRH dengan dosis 100-250 mikrogram pada saat inseminasi (Hardjopranjoto, 1995). Bila ovulasi tertunda dapat diterapi dengan LH (500 U) (Arthur, 1975). Peningkatan kualitas pakan dan manajemen peternakan, serta pengelolaan reproduksi yang baik (Toelihere, 1981).
KESIMPULAN
Kawin berulang dapat disebabkan karena dua faktor utama yaitu :
a. Kegagalan pembuahan
Termasuk dalam faktor ini adalah: kelainan anatomi saluran reproduksi, kelainan ovulasi, sel telur yang abnormal, sperma yang abnormal dan kesalahan pengelolaan reproduksi.
b. Kematian embrio dini
Penyebab terpenting kematian embrio dini adalah kelainan genetik, infeksi penyakit, lingkungan saluran reproduksi yang tidak baik dan gangguan hormonal.