Pandangan Mendalam: Gejala dan Dampak Serangan Canine Distemper Virus (CDV) pada Anjing

Di tengah kehangatan kasih sayang yang terpancar dari mata setia anjing peliharaan kita, terdapat ancaman misterius yang merayap di balik keseharian mereka—Canine Distemper Virus (CDV). Sebuah penyakit mematikan yang memasuki sistem tubuh mereka tanpa peringatan, merajalela melalui sistem pernafasan, pencernaan, urinaria, dan menyusup hingga ke pusat kehidupan, sistem saraf pusat.

Distemper pada anjing bukanlah sekadar penyakit biasa; ini adalah serangan multisistemik yang dapat memisahkan kita dari sahabat setia. Meskipun mengincar semua jenis anjing, ancaman ini jauh lebih intens pada mereka yang berusia muda, di bawah 12 bulan. Inilah saat ketika pertahanan antibodi maternal menurun, tingkat stres mencapai puncak pada masa pertumbuhan, dan serangan penyakit lain menunggu di setiap sudut, menjatuhkan tubuh yang belum sepenuhnya siap bertahan.

Dalam dunia mikroskopis, virus distemper bersifat licik, menyerang dengan kekejaman yang tersembunyi. Mereka bukan hanya pembawa penyakit; mereka adalah ahli perang dalam menghancurkan sistem kekebalan anjing, menjadikan pintu masuk agen infeksi semakin terbuka. Keangkeran penyakit ini terbukti dengan tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas, terutama di antara populasi anjing yang belum mendapat perlindungan melalui vaksinasi yang tepat.

Dalam perjalanan melalui artikel ini, mari kita telusuri kisah serangan CDV yang merayap dan bagaimana perlindungan melalui vaksinasi menjadi pahlawan tak terlihat dalam pertempuran ini.

PENDAHULUAN

Penyakit Virus Distemper pada Anjing (CDV) adalah salah satu penyakit menular yang menyebabkan masalah kesehatan yang serius pada populasi anjing. Penyakit ini menyerang berbagai sistem tubuh anjing, termasuk sistem pernapasan, pencernaan, urinaria, dan sistem saraf pusat (Sitepu et al., 2013). Meskipun dapat mempengaruhi anjing dari segala usia, risiko infeksi biasanya lebih tinggi pada anjing muda, terutama yang berusia kurang dari 12 bulan (Suartha et al., 2008).

Penyebab meningkatnya risiko infeksi pada anjing muda bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti penurunan antibodi yang diterima dari induk (maternal antibodies), tingkat stres yang tinggi selama masa pertumbuhan, dan terpaparnya anjing pada penyakit lain yang dapat melemahkan kondisi tubuh mereka (Suartha et al., 2008). CDV memiliki sifat imunosupresif yang dapat menekan sistem kekebalan tubuh anjing, sehingga membuatnya lebih rentan terhadap serangan infeksi (Erawan et al., 2008).

Angka morbiditas dan mortalitas penyakit distemper cukup tinggi, terutama pada anjing yang tidak divaksinasi. Anjing dengan riwayat vaksinasi yang tidak lengkap, tidak teratur, atau bahkan tidak divaksinasi sama sekali memiliki risiko tertinggi terinfeksi CDV (Erawan et al., 2008). Oleh karena itu, pemahaman tentang penyakit ini dan pentingnya vaksinasi yang tepat adalah kunci dalam pengendalian penyebarannya.

ETIOLOGI

Penyakit Canine Distemper Virus (CDV) disebabkan oleh infeksi virus yang berasal dari Genus Morbilivirus, yang termasuk dalam keluarga Paramyxoviridae. CDV merupakan virus RNA beramplop (Lamb dan Kolafkofsky, 2001).

TRANSMISI

Distemper merupakan penyakit akut yang penyebarannya utama terjadi melalui sekresi partikel virus secara aerosol oleh hewan terinfeksi (Siegmund, 2008; Sellon, 2005). Anjing yang terinfeksi dapat mengeluarkan virus ini selama beberapa bulan (Siegmund, 2008). Selain melalui udara, penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan cairan tubuh dari hewan yang terinfeksi, sehingga interaksi dengan hewan terinfeksi dapat menjadi sumber penularan penyakit ini (Tilley & Smith, 1997). Virus distemper menyerang dan menimbulkan gejala atau lesi pada berbagai organ, termasuk mata, saluran respirasi, gastrointestinal, urogenital, sistem saraf, dan kulit (Koutinas et al., 2008).

PATOGENESIS

Penyakit Canine Distemper Virus (CDV) dipicu oleh infeksi virus dari Genus Morbilivirus, yang termasuk dalam keluarga Paramyxoviridae. Secara patologis, infeksi virus distemper pada anjing dapat menyebabkan infeksi multisistemik. Penyebaran virus umumnya dimulai dari inhalasi virus oleh anjing. Penularan virus dapat terjadi melalui udara atau kontak langsung dengan hewan terinfeksi. Setelah terjadi infeksi melalui udara, virus bereplikasi di dalam makrofag dan sel limfoid saluran pernapasan bagian atas. Kemudian, virus menyebar ke permukaan epitelium, dan replikasi virus pada jaringan limfoid saluran pernafasan menyebabkan migrasi makrofag ke tonsil dan limfonodus pada bronkus. Selanjutnya, terjadi penyebaran ke jaringan limfoid dan hematopoietik seperti limpa, thymus, dan sumsum tulang, menyebabkan limfopenia dan imunosupresi yang memicu terjadinya infeksi sekunder. Penyebaran virus secara sistemik dimediasi oleh sel yang terinfeksi, seperti limfosit, monosit, trombosit, atau melalui virus yang tidak terkait dengan sel, yang menyebabkan infeksi pada berbagai organ.

GEJALA KLINIS

Pada tahap awal penyakit distemper pada anjing, dapat terlihat sejumlah gejala yang mencakup masalah pada mata, batuk-batuk, kesulitan bernafas, munculnya pustula pada kulit dan abdomen, serta terjadinya gangguan pencernaan atau gastroenteritis (Sellon, 2005).

Menurut hasil studi yang dilakukan oleh Gurning et al. (2019), anjing yang terjangkit distemper menunjukkan gejala klinis yang mencakup keberadaan ulkus multifokal di bagian tubuh samping dan kaki belakang, serta adanya hiperkeratosis atau penebalan pada telapak kaki. Jika anjing mampu bertahan setelah mengalami infeksi awal, beberapa minggu kemudian hewan tersebut dapat menunjukkan gejala syaraf. Gejala syaraf ini melibatkan kejang pada ekstremitas cranial dan caudal, ketidakmampuan berdiri, serta kesulitan menggerakkan kepala. Gejala syaraf ini merupakan hasil dari aktivitas virus distemper yang telah mencapai pusat saraf, seperti dijelaskan oleh Suartha et al. (2008) yang melibatkan kejang (seizure), tremor, paralisis, perubahan perilaku, chorea, gerakan mengunyah atau mirip mengunyah permen karet, berjalan melingkar, dan dapat berkembang dengan kerusakan pada retina, perubahan warna kornea, serta penebalan kulit di daerah hidung dan telapak kaki.

Gambar 1. Gejala Klinis Distemper

Gambar 1. Gejala klinis leleran mukopurulen pada hidung (a), pustula pada kulit (b), diare (c) dan paralisis (d) pada anjing penderita distemper (Sumber : Lanasakti, 2021; Gurning et al., 2019).

Pada stadium awal infeksi distemper, anjing dapat menunjukkan gejala seperti anoreksia, demam, letargi, kehilangan berat badan, dehidrasi, dan produksi lendir yang berlebihan dari hidung dan cavum nasal. Gejala ini menjadi indikator penting untuk mendeteksi adanya infeksi penyakit yang memerlukan perhatian medis segera.

DIAGNOSIS

Peneguhan diagnosa terhadap anjing yang menderita Canine Distemper Virus (CDV) didasarkan pada anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis penyakit distemper seringkali mirip dengan penyakit lain, oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan yang cermat. Salah satu cara untuk mendiagnosis penyakit distemper adalah melalui penggunaan test-kit, pemeriksaan serum darah dengan menggunakan kit, serta melalui pengujian antibodi virus distemper menggunakan uji neutralisasi, presipitasi, dan ELISA. Menurut Apple et al. (1994), anjing yang terinfeksi distemper umumnya akan menunjukkan limfopenia, neutrofilia, serta peningkatan enzim hati dan otot seperti aspartate aminotransferase, alanine aminotransferase, BUN, dan kreatinin.

PATOFISIOLOGI DISTEMPER

Gambar 2. Patofisologi Distemper

Gambar 2. a dan b. Perubahan warna pada paru – paru, c. pembengkakan limpa (Kardena et al., 2011 dan Syaiffudin, 2017)

Perubahan organ pada pengamatan post mortem pada anjing yang terinfeksi distemper dapat terjadi dalam rentang waktu mulai dari tahap sub akut hingga kronis. Gejala khas dari penyakit ini akan terlihat lebih jelas sekitar satu atau dua minggu setelah infeksi. Organ paru-paru umumnya akan mengalami perubahan warna menjadi lebih merah, dengan beberapa kasus menunjukkan warna pucat atau kehitaman. Ukuran paru-paru cenderung membesar dengan konsistensi yang bervariasi dari kenyal hingga agak keras. Perubahan warna merah pada paru-paru disebabkan oleh reaksi peradangan yang terjadi di dalam organ tersebut. Virus distemper dapat memasuki tubuh melalui saluran pernafasan dan menyerang organ paru-paru. Splenomegali juga dapat terjadi karena antigen yang masuk akan merangsang proliferasi makrofag untuk memfagositosis antigen dan meningkatkan diameter sentrum germinativum, sehingga menyebabkan pembengkakan limpa (Sitorus dan Silitonga, 2016).

HISTOPATOLOGI DISTEMPER

Menurut Sitepu et al., (2013), terdapat beberapa perubahan yang terjadi pada anjing yang mengalami distemper, biasanya berupa lesi degeneratif pada otak, paru-paru, dan ginjal. Dari hasil pemeriksaan mikroskopis, ditemukan beberapa lesi, antara lain:

– Kongesti pada vena centralis hati

– Perdarahan pada septa alveoli paru-paru

– Perdarahan pada tubulus ginjal

– Degenerasi sel-sel neuron dan kongesti pada cerebrum

Gambar 3. Gambaran mikroskopik berbagai organ anjing penderita distemper (Sitepu et al., 2013)
  • Gambar A: Kongesti pada vena centralis hati anjing penderita anjing berumur 2 bulan
  • Gambar B: Perdarahan pada septa alveoli paru – paru anjing penderita distemper 2,5 bulan
  • Gambar C: Perdarahan pada tubulus ginjal anjing penderita distemper berumur 2 bulan
  • Gambar D: Degenerasi sel-sel neuron (panah hitam) dan kongesti (panah kuning) yang terjadi pada cerebrum anjing penderita distemper umur 2,5 bula

Lesi kongesti pada paru-paru merupakan gejala yang khas pada anjing dengan distemper. Menurut Kardena et al. (2011), paru-paru anjing yang terinfeksi distemper akan mengalami hiperemia akibat dilatasinya pembuluh darah di sekitar jaringan, yang merupakan tanda adanya proses peradangan. Hal serupa juga ditemukan pada organ lain seperti hati, di mana terjadi perdarahan akibat rusaknya dinding pembuluh darah akibat peradangan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Kardena et al. (2011) yang menyatakan bahwa perubahan patologis pada organ menjadi lebih merah bahkan cenderung kehitaman. Lesi degeneratif juga terjadi pada hati dan ginjal, di mana virus distemper masuk ke dalam organ-organ tersebut melalui sirkulasi darah. Proses ini dapat mengakibatkan kegagalan fungsi organ dan perubahan mikroskopis pada jaringan. Lesi peradangan yang signifikan juga dapat terjadi pada paru-paru, akibat infeksi virus distemper yang menyerang sel-sel jaringan paru-paru melalui saluran pernapasan. Gangguan pernapasan dan eksudat mukopurulen menjadi gejala klinis yang terlihat pada anjing yang terinfeksi. Lesi nekrosis pada otak dan ginjal juga sering terjadi, yang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel ganglion pada otak dan gagal ginjal pada ginjal anjing.

PENGOBATAN

Pada saat ini, belum terdapat tindakan pengobatan khusus yang secara spesifik dapat mengeliminasi virus distemper. Oleh karena itu, terapi yang diberikan kepada anjing terfokus pada penanganan simptomatik dan dukungan. Menurut Gurning et al. (2019), terapi dukungan melibatkan pemberian cairan dengan menggunakan larutan NaCl fisiologis atau Ringer laktat. Selain itu, dianjurkan pula pemberian antibiotik untuk mencegah kemungkinan terjadinya infeksi sekunder, terutama pada kulit yang mengalami ulserasi. Pada anjing dengan gejala syaraf, pemberian vitamin B1 dapat menjadi pertimbangan dalam pengobatan. Pendekatan pengobatan simptomatis dilakukan berdasarkan gejala yang tampak pada anjing yang menderita penyakit ini.

PENCEGAHAN

Menurut laporan Spenser dan Borroughs (1992), kunci pencegahan terhadap penyakit distemper adalah melalui praktik vaksinasi. Vaksinasi sebaiknya dilakukan pada saat antibodi maternal mulai menurun, dan dianjurkan untuk diikuti dengan pemberian booster setiap tahunnya. Hal ini bertujuan agar anjing dapat menerima vaksin secara menyeluruh dan optimal. Pencegahan melalui vaksinasi menjadi suatu langkah krusial dalam mengurangi risiko penyebaran penyakit ini pada populasi anjing.

Tanda Tangan Kunta

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*